Istana Nabi Sulaiman




Dikatakan kepadanya : " Masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya". Berkatalah Sulaiman : " Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca" Berkatalah Balqis :"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam"."(QS An Naml 44)

Catatan sejarah mengungkapkan pertemuan antara Sulaiman dengan Ratu Saba berdasarkan penelitian yang dilakukan negeri tua Saba di Yaman Selatan. Penelitian yang dilakukan terhadap reruntuhan mengungkapkan bahwa seorang "ratu" yang pernah berada di kawasan ini hidup antara 1000 s/d 950 SM dan melakukanperjalanan ke Utara ( ke Jerusalem).

Keterangan lebih terperinci tentang apa yang terjadi diantara dua orang penguasa, kekuatan ekonomi dan politik dari dua negara ini, pemerintahan mereka dan hal lain yang lebih terperinci semuanya diterangkan dalam Surat An Naml. Kisah yang meliputi sebagian besar surat An Naml, memulai keterangannya tentang ratu Saba berdasarkan berita yang dibawa oleh seekor burung Hud, salah satu tentara nabi Sulaiman kepadanya :

Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata;"Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.

Allah, tiada Tuhan Yang Disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai Ársy yang besar". Berkata Sulaiman :"Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta." ( QS An Naml 22-27).



Setelah menerima berita dari burung hud ini, Sulaimanpun memberikan perintah sebagai berikut :

Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan".(QS. An Naml: 28).

Setelah ini, al-Qur'an mengemukakan kejadian yang berkembang setelah Ratu Saba menerima surat tersebut:

Berkata ia (Balqis) : "Hai pembesar-pembesar, sesunguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat ini dari Sulaiman dan sesungguhnya (isinya): "Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri".

Berkata dia (Balqis) ; "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)".

Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".

Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan dan demikian pulalah apa yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirimkan utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah dan (aku akan) menunggu apa yang dibawa kembali oleh utusan-utusanku itu.




Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaimanpun berkata: Äpakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan oleh Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.

Kembalilah mereka sungguh Kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina".

Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar siapakah diantara kamu sekalian yang sanggp membawa singgasananya kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin:"Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya".

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab:"Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana tersebut terletak dihadapannya, iapun berkata :Ïni termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni'mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Dia berkata: "Robahlah baginya singgasananya; maka kia akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenali(nya)".

Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasanamu?". Dia menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri".

Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya ( untuk melahirkan ke-Islamannya), karena sesungguhnya ia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakanlah kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya". Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dai kaca". Berkatalah Balqis: ¼a, Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam". (QS An Naml 29-44).

Sebuah peta yang menunjukkan dua buah jalur perjalanan ratu Saba.



Istana Sulaiman

Dalam surat dan ayat yang menerangkan tentang ratu Saba, Nabi Sulaiman juga disebutkan. Dalam Al Qurán diceritakan bahwa Sulaiman mempunyai kerajaan serta istana yang mengagumkan dan banyak perincian lain yang diberikan.

Berdasarkan ini, Sulaiman dapatlah dikatakan memiliki teknologi yang maju dimasanya. Di istananya terdapat berbagai karya seni dan benda-benda berharga, yang mengesankan bagi semua yang menyaksikanya. Pintu gerbang istana terbuat dari gelas. Penyebutan Al Qurán dan akibatnya terhadap ratu Saba disebutkan dalam ayat berikut :

. Dikatakanlah kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya". Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dai kaca". Berkatalah Balqis: ¼a, Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam".(QS An Naml 44).
Setelah kuil Sulaiman dihancurkan, satu-satunya dinding/tembol kuil yang tersisa diubah menjadi "Tembok ratapan"oleh Yahudi. Setelah penaklukan Jerusalem di abad 7, kaum Muslim membangun Masjid Umat dan Kubah Batu dimana kuil tersebut dahulunya berada. Dalam gambar disebelah kanan tampak Kubah Batu.

Istana Nabi Sulaiman disebut dengan "Solomon Temple/Kuil Sulaiman" dalam literatur bangsa Yahudi. Saät ini, hanya "Tembok sebelah Barat" yang tersisa dari bangunan kuil atau istana yang masih berdiri, dan pada saat yang bersamaan tempat ini dinamakan "Tembok Ratapan/Wailing Wall"oleh orang Yahudi. Alasan mengapa istana ini, sebagaimana banyak tempat lain yang berada di Jerusalem kemudian dihancurkan adalah dikarenakan tindakan jahat serta kesombongan dari bangsa Yahudi. Hal ini diberitahukan oleh Al Qurán sebagai berikut :

Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar". Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.

Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.(QS al Isra 4-7).

Kuil Sulaiman memiliki teknologi yang paling maju saat itu dan pemahaman estetika yang unggul. Pada gambar di atas ditunjukkan pusat kota Jerusalem selama masa pemerintahan Nabi Sulaiman.
1) Pintu Barat daya
2) Istana Ratu
3) Istana Sulaiman
4) Pintu gerbang dengan 32 pilar
5) Gedung pengadilan
6) Hutan Libanon
7) Kediaman pendeta tingkat tinggi
8) Pintu masuk ke kuil
9) Alun-alun kuil
10) Kuil Sulaiman

Seluruh kaum yang disebutkan dalam bab-bab terdahulu patut mendapatkan hukuman karena pemberontakan mereka dan ketidak bersyukuran mereka atas karunia Allah, dan makanya merekapun ditimpa bencana. Setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa negara dan wilayah, dan akhirnya menemukan sebah rumah di tanah suci pada masa Sulaiman, bangsa Yahudi sekali lagi dihancurkan karena perilaku mereka yang diluar batas, dan karena tindakan mereka yang merusak dan membangkang. Yahudi modern yang telah menetap di daerah yang sama dengan daerah dimasa lalu, kembali menyebabkan kerusakan dan "berbesar hati dengan kesombongan yang luar biasa" sebagaimana mereka lakukan sebelum peringatan yang pertama.

penasaran???......
Category: 0 komentar

Muhammad Saw

silsilah-nabi-sawMuhammad (bahasa Arab: محمد, juga dikenal sebagai Mohammad, Mohammed, dan kadang-kadang oleh orientalis Mahomet, Mahomed) adalah pembawa ajaran Islam, dan diyakini oleh umat Muslim sebagai nabi Allah (Rasul) yang terakhir. Menurut biografi tradisional Muslimnya (dalam bahasa Arab disebut sirah), ia lahir sekitar tahun 570, diperkirakan 20 April 570 di Mekkah (atau “Makkah”) dan wafat pada 8 Juni 632 di Madinah. Kedua kota tersebut terletak di daerah Hejaz (Arab Saudi saat ini).
“Muhammad” dalam bahasa Arab berarti “dia yang terpuji”. Muslim mempercayai bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad adalah penyempurnaan dari agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Mereka memanggilnya dengan gelar Rasulullah (رسول الله), dan menambahkan kalimat sallallaahu alayhi wasallam (صلى الله عليه و سلم, yang berarti “semoga Allah memberi kebahagiaan dan keselamatan kepadanya”; sering disingkat “s.a.w” atau “S.A.W”) setelah namanya. Selain itu Al-Qur’an dalam Surah As-Saff (QS 61:6) menyebut Muhammad dengan nama “Ahmad” (أحمد), yang dalam bahasa Arab juga berarti “terpuji”.
Michael H. Hart, dalam bukunya The 100, menetapkan Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal agama maupun hal duniawi. Dia memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.[1]

Silsilah Muhammad dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan.[2] Dimana Adnan merupakan keturunan laki-laki ke tujuh dari Ismail bin Ibrahim, yaitu keturunan Sam bin Nuh.[3]
Riwayat
Kelahiran
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Maulud Nabi Muhammad
Para penulis sirah (biografi) Muhammad pada umumnya sepakat bahwa ia lahir di Tahun Gajah, yaitu tahun 570 M. Muhammad lahir di kota Mekkah, di bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Ayahnya, Abdullah[4], meninggal dalam perjalanan dagang di Yatsrib, ketika Muhammad masih dalam kandungan. Ia meninggalkan harta lima ekor unta, sekawanan biri-biri dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian mengasuh Nabi.[3]
Pada saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah binti Wahab mengajaknya ke Yatsrib (Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam ayahnya. Namun dalam perjalanan pulang, ibunya jatuh sakit. Setelah beberapa hari, Aminah meninggal dunia di Abwa’ yang terletak tidak jauh dari Yatsrib, dan dikuburkan di sana.[2] Setelah ibunya meninggal, Muhammad dijaga oleh kakeknya, ‘Abd al-Muththalib. Setelah kakeknya meninggal, ia dijaga oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika inilah ia diminta menggembala kambing-kambingnya disekitar Mekkah dan kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke negeri Syam (Suriah, Libanon dan Palestina).
Hampir semua ahli hadits dan sejarawan sepakat bahwa Muhammad lahir di bulan Rabiulawal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Di kalangan Syi’ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan langsung Muhammad, menyatakan bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal atau (2 Agustus 570M).[3]
Masa remaja
Dalam masa remajanya, diriwayatkan bahwa Muhammad percaya sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan membenci sifat-sifat angkuh dan sombong. Ia menyayangi orang-orang miskin, para janda dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong mereka. Ia juga menghindari semua kejahatan yang biasa di kalangan bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras, berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq (yang benar) dan Al-Amin (yang terpercaya). Ia senantiasa dipercayai sebagai penengah bagi dua pihak yang bertikai di kampung halamannya di Mekkah…
Kerasulan
Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan kekerasan dan pertempuran. Ia sering menyendiri ke Gua Hira’, sebuah gua bukit dekat Mekah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur karena bertentangan sikap dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut. Di sinilah ia sering berpikir dengan mendalam, memohon kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan.
Pada suatu malam, ketika Muhammad sedang bertafakur di Gua Hira’, Malaikat Jibril mendatanginya. Jibril membangkitkannya dan menyampaikan wahyu Allah di telinganya. Ia diminta membaca. Ia menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap sama.
Akhirnya, Jibril berkata:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ini merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Muhammad. Ketika itu ia berusia 40 tahun. Wahyu turun kepadanya secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun. Wahyu tersebut telah diturunkan menurut urutan yang diberikan Muhammad, dan dikumpulkan dalam kitab bernama Al Mushaf yang juga dinamakan Al-Quran (bacaan). Kebanyakan ayat-ayatnya mempunyai arti yang jelas, sedangkan sebagiannya diterjemahkan dan dihubungkan dengan ayat-ayat yang lain. Sebagian ayat-ayat adapula yang diterjemahkan oleh Muhammad sendiri melalui percakapan, tindakan dan persetujuannya, yang terkenal dengan nama As-Sunnah. Al-Quran dan As-Sunnah digabungkan bersama merupakan panduan dan cara hidup bagi “mereka yang menyerahkan diri kepada Allah”, yaitu penganut agama Islam.
Selama tiga tahun pertama, Muhammad hanya menyebarkan agama terbatas kepada teman-teman dekat dan kerabatnya. Kebanyakan dari mereka yang percaya dan meyakini ajaran Muhammad adalah para anggota keluarganya serta golongan masyarakat awam, antara lain Khadijah, Ali, Zayd dan Bilal. Namun pada awal tahun 613, Muhammad mengumumkan secara terbuka agama Islam. Banyak tokoh-tokoh bangsa Arab seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Zubair bin Al Awwam, Abdul Rahman bin Auf, Ubaidillah bin Harits, Amr bin Nufail masuk Islam dan bergabung membela Muhammad.
Akibat halangan dari masyarakat jahiliyyah di Mekkah, sebagian orang Islam disiksa, dianiaya, disingkirkan dan diasingkan. Penyiksaan yang dialami hampir seluruh pengikutnya membuat lahirnya ide berhijrah (pindah) ke Habsyah. Negus, raja Habsyah, memperbolehkan orang-orang Islam berhijrah ke negaranya dan melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah. Muhammad sendiri, pada tahun 622 hijrah ke Madinah, kota yang berjarak sekitar 200 mil (320 km) di sebelah Utara Mekkah.
Hijrah ke Madinah
Di Mekkah terdapat Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Masyarakat jahiliyah Arab dari berbagai suku berziarah ke Ka’bah dalam suatu kegiatan tahunan, dan mereka menjalankan berbagai tradisi keagamaan mereka dalam kunjungan tersebut. Muhammad mengambil peluang ini untuk menyebarkan Islam. Di antara mereka yang tertarik dengan seruannya ialah sekumpulan orang dari Yathrib (dikemudian hari berganti nama menjadi Madinah). Mereka menemui Muhammad dan beberapa orang Islam dari Mekkah di suatu tempat bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam, mereka lalu bersumpah untuk melindungi Islam, Rasulullah (Muhammad) dan orang-orang Islam Mekkah.
Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yathrib datang lagi ke Mekkah. Mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu sebelumnya. Abbas bin Abdul Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum menganut Islam, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengundang orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yathrib. Muhammad akhirnya setuju untuk berhijrah ke kota itu.
Mengetahui bahwa banyak masyarakat Islam berniat meninggalkan Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha menghalang-halanginya, karena beranggapan bahwa bila dibiarkan berhijrah ke Yathrib, orang-orang Islam akan mendapat peluang untuk mengembangkan agama mereka ke daerah-daerah yang lain. Setelah berlangsung selama kurang lebih dua bulan, masyarakat Islam dari Mekkah pada akhirnya berhasil sampai dengan selamat ke Yathrib, yang kemudian dikenal sebagai Madinah atau “Madinatun Nabi” (kota Nabi).
Di Madinah, pemerintahan (kalifah) Islam diwujudkan di bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam bebas beribadah (shalat) dan bermasyarakat di Madinah. Quraish Makkah yang mengetahui hal ini kemudian melancarkan beberapa serangan ke Madinah, akan tetapi semuanya dapat diatasi oleh umat Islam. Satu perjanjian damai kemudian dibuat dengan pihak Quraish. Walaupun demikian, perjanjian itu kemudian diingkari oleh pihak Quraish dengan cara menyerang sekutu umat Islam.
Penaklukan Mekkah
Pada tahun ke-8 setelah berhijrah ke Madinah, Muhammad berangkat kembali ke Makkah dengan pasukan Islam sebanyak 10.000 orang. Penduduk Makkah yang khawatir kemudian setuju untuk menyerahkan kota Makkah tanpa perlawanan, dengan syarat Muhammad kembali pada tahun berikutnya. Muhammad menyetujuinya, dan ketika pada tahun berikutnya ia kembali maka ia menaklukkan Mekkah secara damai. Muhammad memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji, memusnahkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka’bah, dan kemudian memberikan amnesti umum dan menegakkan peraturan agama Islam di kota Mekkah.
Pernikahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pernikahan Muhammad
Selama hidupnya Muhammad menikahi 11 atau 13 orang wanita (terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini). Pada umur 25 Tahun ia menikah dengan Khadijah, yang berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat.[5] Pernikahan ini digambarkan sangat bahagia,[6][7] sehingga saat meninggalnya Khadijah (yang bersamaan dengan tahun meninggalnya Abu Thalib pamannya) disebut sebagai tahun kesedihan.
Sepeninggal Khadijah, Muhammad disarankan oleh Khawla binti Hakim, bahwa sebaiknya ia menikahi Sawda binti Zama (seorang janda) atau Aisyah (putri Abu Bakar, dimana Muhammad akhirnya menikahi keduanya. Kemudian setelah itu Muhammad tercatat menikahi beberapa wanita lagi sehingga mencapai total sebelas orang, dimana sembilan diantaranya masih hidup sepeninggal Muhammad. Para ahli sejarah antara lain Watt dan Esposito berpendapat bahwa sebagian besar perkawinan itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan politik (sesuai dengan budaya Arab), atau memberikan penghidupan bagi para janda (saat itu janda lebih susah untuk menikah karena budaya yang menekankan perkawinan dengan perawan).[8]
Perbedaan dengan nabi dan rasul terdahulu
Dalam mengemban misi dakwahnya, umat Islam percaya bahwa Muhammad diutus Allah untuk menjadi Nabi bagi seluruh umat manusia (QS. 34 : 28), sedangkan nabi dan rasul sebelumnya hanya diutus untuk umatnya masing-masing (QS 10:47, 23:44) seperti halnya Nabi Musa yang diutus Allah kepada kaum Bani Israil.
Sedangkan persamaannya dengan nabi dan rasul sebelumnya ialah sama-sama mengajarkan Tauhid, yaitu kesaksian bahwa Tuhan yang berhak disembah atau diibadahi itu hanyalah Allah (QS 21:25).

penasaran???......
Category: 1 komentar

BENARKAH KEBEBASAN   BERPIKIR ITU BOLEH?BERFIKIR BEBAS DAN ILMIAH DALAM AL-QURAN

Pondok modern Gontor, almamater kita menjadikan kebebasan berfikir sebagai salah satu prinsip dasar. Prinsip ini penting dalam kehidupan manusia. Manusia seringkali didifinisikan sebagai “binatang berfikir” (al-insânu hayawânun nâtiq) Dalam definisi ini “berfikir” yang berarti juga “berfikir yang bebas” adalah sifat utama manusia dan faktor pembeda antara manusia dengan binatang-binatang yang lain. Dulu dalam peristiwa penciptaan Adam as juga ada isarat yang menunjukkan bahwa Adam mampu menjadi khalifah yang lebih tinggi derajatnya daripada para malaikat adalah karena kemampuannya bertikir dan menamakan al-asma’ (nama-nama benda).

Tulisan ini berusaha melihat beberapa aspek berfikir dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menyerukan pentingnya berfikir yang bebas. Kebebasan berfikir yang diserukan al-Qur’an kepada manusia menyangkut segala proses akliah, kognitif, terhadap semua kehidupan dan kejadian alam wujud ini termasuk diri manusia sendiri. Pada saat yang sama proses berfikir yang bebas ini, menurut al-Qur’an juga harus ilmiah, kritis dan methodologis.
PROSES BERFIKIR YANG BEBAS DAN BERKESINAMBUNGAN
Dalam al-Qur’an proses berfikir adalah proses yang bebas, menyangkut segala kegiatan kognitif terhadap semua alam wujud dan kehidupan. Aktifitas berfikir sebagai karakter utama manusia mendapat perhatian yang istimewa dalam al-Qur’an. Akal yang merupakan alat untuk berfikir disebutkan al-Qur’an sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan tidak satupun kata akal (‘aql) digunakan dalam bentuk kata benda (isim) . Hal ini mengisyaratkan bahwa akal adalah sebuah proses berfikir yang berketerusan dan tidak boleh berhenti dan bahwa akal tidak memiliki makna kalau tidak digunakan. Alat untuk berfikir di dalam al-Qur’an juga disebut al-qalb, al-fu’ad, al-nuhâ, al-hijr, al-hilm dan al-lubb yang semuanya juga berarti akal fikiran. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang menyerukan pentingnya proses berfikir yang bebas bagi setiap manusia. Ayat-ayat ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Ayat-ayat yang menyerukan berfikir dan penggunaan akal sebagai kekuatan alami yang dimiliki manusia. Di antaranya adalah: “Dan ia memudahkan bagi kamu malam dan siang, dan matahari serta bulan; dan bintang-bintang dimudahkan dengan perintah-Nya untuk keperluan-keperluan kamu. Sesungguhnya yang demiikian itu mengandung tanda-tanda (yang membuktikan kebijaksanaan Allah) bagi kaum yang mau menggunakan akal.” (al-Nahl:12) . Ayat-ayat seperti ini juga dapat di lihat di Surat al-Baqarah: 164, al-Ra’d: 4, al-Nahl: 64 dan al-Rum: 24. Semua ayat-ayat tersebut di atas diakhiri dengan pernayataan “bagi kaum yang mahu menggunakan akal” (li qaumin ya’qilun) sebagai penekanan terhadap sesuatu yang secara alami merupakan suatu kemestian untuk difikirkan dan difahaini, yaitu suatu kemestian untuk memikirkan dan memaharni semua fenomena kejadian dan alam raya ini dengan bebas.
2. Ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan khusus kepada para Uli al-bab, intellektual, dan mereka yang memiliki kemampuan berfikir secara sempurna. Orang-orang ini disebut dalam al-Qur ‘an sebanyak 16 kali, yang semuanya berirama pujian dan penghormatan, hal ini karena mereka menurut al-Qur’an adalah orang orang yang memiliki tingkatan yang tinggi di dalam berfikir. Diantara ayat-ayat ini adalah firman Allah yang maksudnya: “Maka adakah orang yang mengetahul bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu itu (wahai Muhammad) perkara yang benar, sama dengan orang yang buta matahatinya? Sesungguhnya orang-orang yang mahu memikirkan hal itu hanyalah orang-orang yang berakal sempurna (uli al-bab).” (al-Ra’d: 19).
3. Ayat-ayat yang mencela dan menghardik orang orang yang tidak mau berfikir. Untuk mencela orang-orang yang tidak berfikir dan tidak menggunakan akal al-Qur’an banyak menggunakan tanda tanya yang bersifat negatif seperti: Apakah kamu tidak menggunakan akal fikiran (afala ta’qilun)? Apakah kamu tidak berfikir (afala tatafakkarun?) Apakah kamu tidak melihat (afala tubsirun)? Apakah kamu tidak ingat (afala tadzakkarun)? Apakah mereka tidak mendalaini (afala tadabbarun)? Ayat-ayat yang berkaitan dengan tanda tanya ini, banyak menyuruh manusia untuk membedakan antara baik dan buruk, jahat dan mulia dan untuk menimbang dan meinilih antara kelezatan kehidupan dunia dan akhirat kelak. Seperti firman Allah yang maksudnya: “Jijik perasaanku terhadap kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Maka mengapa kamu tidak mau menggunakan akal fikiran kamu?” (al-Anbiya’: 67). Dalarn banyak ayat Allah mensifatkan orang-orang yang tidak berfikir sama dengan binatang dan bahkan lebih hina daripada binatang, hal ini karena binatang memang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berfikir, sedangkan manusia sudah diberi alat untuk berfikir namun mereka tidak menggunakannya dengan sempurna. Kasus ini dapat dilihat dalam firman Allah: “Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang melata, pada sisi (hukum dan ketetapan) Allah, ialah orang-orang yang pekak lagi bisu, yang tidak mahu memahaini sesuatupun (dengan akal fikirannya).” (al-Anfâl: 22), dapat juga dilihat dalam Surat al-Furqan: 44.
4. Ayat-ayat yang berkaitan dengan kewajiban manusia untuk melihat, meneliti, mengingat, memahami yang semuanya merupakan proses berfikir yang bebas yang tidak terikat, terhadap semua fenomena wujud dan kehidupan, yang dibahasakan oleh al-Quran dalam berbagai istilah seperti berikut:
a) Kata-kata yang berasal dan fa-ka-ra yang berarti berfikir terdapat dalam 16 ayat. Semua ayat-ayat ini menyerukan manusia untuk berfikir tentang semua fenomena wujud, baik alam raya maupun diri manusia sendiri, deinikian juga tentang dalil-dalil tauhid dan kebenaran risalah Nabi Muhammad. Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah yang maksudnya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dan pada Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir ” (al-Jathiyah: 13). Kata ‘berfikir’ dalam ayat ini merupakan hal yang sangat penting, dimana kalau Allah telah menghamparkan dan menundukkan untuk manusia alam raya ini maka pada saat yang sama manusia tidak boleh bersikap acuh dan pasif tapi harus mengambil posisi aktif dan dinamis. Kedinamisan ini diwujudkan dalarn bentuk mentelaah, eksperimen dan kemampuan memanfaatkan alam bagi kebaikan kehidupan umat manusia. Pengendalian dan pemanfaatan segala apa yang terhampar di alam raya ini harus dengan studi dan penelitian. Pandangan yang sedemikian ini terhadap objek; alan raya, langit dan bumi akan dapat meningkatkan kehidupan material, dan dalam waktu yang sama dapat meningkatkan kehidupan spiritual, seperti apa yang ditegaskan oleh al-Qur’an: “Kami akan memperhatikan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahawa al-Qur’an itu adalah benar.” (al-Fusilat: 53).
b) Kata-kata yang berasal dan na-dla-ra yang maknanya melihat terdapat dalam 129 ayat, ada yang bermakna melihat dengan mata secara biasa, tapi secara umum memberi makna melihat dengan akal fikiran, seperti: “(Setelah mengetahui yang demikian), maka hendaklah manusia melihat (memikirkan): dan apa ja diciptakan.” (al-Tariq: 5). Ayat yang sama dapat di jumpai di Surat ‘Abasa: 24, al-A’raf: 185.
c) Kata-kata yang berasal dan ba-sha-ra yang secara bahasa bermakna melihat dengan mata di dalam al-Qur’an bermaksud meneliti dan menggunakan akal secara rasional terhadap semua fenomena kehidupan yang tampak secara empirik di depan mata. Dalam Surat al-A’raf: 179, Allah berfirman yang maksudnya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam banyak dari jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mau memahami dengannya (ayat-ayat Allah), dan yang mempunyai mata (tetapi) tidak mau melihat dengannya (bukti keesaan Allah) dan yang mempunyai telinga (tetapi) tidak mau mendengar dengannya (ajaran dan nasihat); mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.” Yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang yang tidak menggunakan indera mereka sebagai proses memahami dengan baik dan betul-betul semua fenomena alan raya ini sebagai tanda kebesaran Allah. Ayat-ayat yang semacam ini dapat juga di jumpai di al-Dzariyat:21, al-Sajdah: 28.
d). Kata-kata yang berasal dan dab-ba-ra yang secara bahasa bermakna memahami, terdapat dalam 4 ayat yang semuanya berkaitan dengan pemahaman terhadap al-Quran, yang memberi perintah terhadap kita untuk memahami dengan teliti dan meinikirkan rahasia-rahasia dan keajaiban kandungan wahyu Ilahi, seperti: “(Al-Quran ini) sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (dan umatmu wahai Muhammad), -Kitab yang banyak faedah-faedah dan manfaatnya, untuk mereka memahami dengan teliti kandungan ayat-ayatnya, dan untuk orang-orang yang berakal sempurna beringat mengambil iktibar.” (Shad: 29). Ayat yang lainnya terdapat dalam Surat al-Nisâ’: 82, al-Mu’minun: 68 dan Surat Muhammad: 24.
e) Kata-kata fa-qi-ha di dalam al-Qur’an bermakna mendalami, seperti mendalami ilmu Syari’at, dan fa-qi-ha termasuk proses berfikir yang tinggi. Akar kata fa-qi-ha terdapat dalam 20 ayat, dan diantaranya adalah: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam banyak dan jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mau memahami (secara mendalam) dengannya (ayat-ayat Allah)…” (al-A’raf : 179).
f) Ayat-ayat yang menyerukan manusia untuk mengambil iktibar dan pelajaran baik dan peristiwa sejarah dan pengalaman kehidupan manusia maupun dan peristiwa alam, seperti firman Allah yang maksudnya: “Sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandungi pelajaran yang mendatangkan iktibar bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran.” (Yûsuf: 111). Ayat-ayat yang lain terdapat dalam Surah al-Hashr: 2, Ali ‘Imrân: 13, dan Nûr: 43-44.
g) Ayat-ayat yang menyerukan manusia untuk mengingat (tadzakkur). Dalam psykologi, mengingat adalah juga merupakan proses kognitif yang penting, dan karena itulah al-Qur’an banyak mengkaitkan proses ini dengan para ulil albab (intellektual), seperti firman Allah yang maksudnya: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang mengingati (pelajaran dan peringatan) hanyalah orang-orang yang berakal sempurna.” (al-Zumar: 9)
BERFIKIR HARUS ILMIAH, KRITIS DAN METHODOLOGIS
Selain memberikan kebebasan akal untuk melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan kenampuan dan kekuatan yang dimiliki. Al-Qur’an memberikan banyak bukti-bukti perlunya berfikir iliniah, kritis dan metodologis. Diantara bukti-bukti itu adalah sebagai berikut:
a) Al-Quran dengan teliti dan dengan penuh tanggungjawab memaparkan pendapat-pendapat lawan, kemudian menjawabnya dengan logika yang benar dan hukum fitrah yang lurus. Al-Qur’an mencatat pandangan orang-crang Quraish, orang-orang Kafir dan orang orang Musyrik, kemudian menjawab pandangan-pandangan mereka dengan jawaban yang tepat dan memuaskan, yang didasari oleh alasan-alasan yang kuat dan rasional. Orang-orang Kafir umpananya ketika mengingkari adanya han kebangkitan dan mengatakan: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Al-Qur’an memberi komen dan jawaban dalam ayat selanjutnya: “Dan mereka sekali kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (al-Jasyiyah: 24). Disini Qur’an membedakan antara ‘ilmu’ dan ‘spekulasi’ (dhan), mengajak penglihatan kita pada pentingnya penelitian dan pengkajian secara mendalam tentang hukum-hukum dan keputusan-keputusan dan sumbernya, yang merupakan pendidikan untuk melakukan kritik yang objektif. Al-Qur’an memperingatkan dan melarang manusia mengeluarkan idea-idea dan keputusan-keputusan yang ia sendiri tidak mengerti, sehingga tidak mengakibatkan kesalahan dan kontradiksi dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang karnu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isrâ’: 36). Ketika orang-orang Kafir beranggapan bahwa para Malaikat itu adalah orang-orang perempuan. Al-Qur’an menjawab spekulasi mereka itu dengan mengatakan: “Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan ditulis persaksian mereka dan mereka akan diininta memberi pertanggung jawaban.” (al-Zuhruf: 19). Al-Qur’an dalam ayat ini ingin mengatakan kepada mereka, bahawa pendapat yang kamu pegang itu kalau benar maka harus berdasarkan atas penelitian, yang merupakan salah satu sarana ilmu pengetahuan yang benar.
b) Al-Qur’an menceritakan kepada kita tentang Nabi Ibrahim as dan kaumnya, perdebatan yang terjadi antara kedua belah pihak, dan argumentasi-argumentasi rasional yang tersusun dalam metode logika yang bagus dan tepat, dan dapat menjuruskan akal kepada konklusi-konklusi yang benar dan meyakinkan, seperti apa yang dinyatakan oleh ayat di akhir cerita: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan di bumi dan (Kami perlihatkan) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75).
c) Al-Qur’an memberikan contoh-contoh metode berfikir iliniah dan methodologis. Di antara metode bertikir iliniah dan metodhologis yang diperkenalkan~oleh al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1) Metode sejarah: Terhadap sejarah, sebagai salah satu sumber pengetahuan manusia, al-Qur’an telah memperhatikan secara serius dengan membincangkan kembali keadaan dan pengalaman umat manusia di masa lalu, dan menyuruh setiap manusia untuk melihat dan menemukan hukun-hukum (sunnatullah) yang terdapat di dalam setiap peristiwa dan perubahan sejarah nanusia: “Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu (contoh kejadian-kejadian berdasarkan) hukum-hukum Allah yang tetap; oleh itu mengembaralah kamu di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul).” (Ali Imran: 137). Demikian juga Al-Qur’an telah memperhatikan pentingnya memastikan secara kritis dan objektif terhadap kebenaran setiap berita dan data-data sejarah: “Hai orang-orang yang berman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.” (al-Hujurat: 6). Dan sini Al-Qur’an telah meletakkan dasar yang paling utama dalam kritik sejarah, dimana ia telah meletakkan etika penyampaian berita sebagai faktor yang paling dominan untuk menilai kandungan sebuah berita. Orang-orang Islam telah menerapkan prinsip ini dalam periwayatan hadith Nabi. Prinsip kritik yang telah diterapkan oleh para perawi hadith inilah yang kemudian menjadi prinsip dasar dalam netode penelitian sejarah.
2) Metode silogisme: Metode ini termasuk cabang ilnu mantik (logika Aristotles), yaitu metode berfikir untuk nendapatkan keputusan atau hasil dan dua premis atau mukadimah. Metode ini diisaratkan oleh al-Qur’an dalam kisah Iblis ketika menolak untuk bersujud kepada Adam: Allah berfirman:”Hai lblis! Apa yang menghalangimu daripada turut sujud kepada (Adam) yang Aku telah ciptakan dengan kekuasaan-Ku? Adakah engkau berlaku sombong takbur, ataupun engkau dan golongan yang tertinggi? Iblis menjawab: “Aku lebih baik daripadanya; Engkau (wahai Tuhanku) ciptakan daku dan api, sedang dia Engkau ciptakan dan tanah.” (Shad: 75-76). Dalam peristiwa ini Iblis membuat silogisme sebagai berikut: Saya (Iblis) diciptakan daripada api, Adam diciptakan daripada tanah (premis I). Api lebih baik daripada tanah (premis II), maka saya (Iblis) lebih baik daripada Adam (keputusan) . Karena silogisme ini Iblis menolak untuk bersujud pada Adam. Dalam silogisme, untuk nendapatkan keputusan yang benar preinis pertama dan kedua harus betul dan iliniah. Struktur silogisme yang digunakan Iblis ini memang betul tetapi tidak ilmiah, karena premis yang dia bangun bersifat subjektif dan masih dapat dipertikaikan. Bagi Iblis api lebih baik dan tanah, tapi bagi manusia tanah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada api, dan dengan denikian dalam perspektif manusia Adam lebih baik daripada Iblis.
3) Metode qiyâs (analogical deduction): Metode ini digunakan dalan Usul Fiqh. Ayat al-Qur’an yang mengisayaratkan metode ini adalah: “…Maka Allah menimpakan (azab-Nya) kepada mereka dan arah yang tidak terlintas dalam fikiran mereka, serta dilemparkanNya perasaan cemas takut ke dalam hati mereka, (lalu) mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri (dan dalam) sambil tangan orang-orang yang berman (yang mengepung mereka berbuat deinikian dan luar). Maka ambilah iktibar wahai orang-orang yang berakal fikiran.” (al-Hashr: 2). Dalam ayat ini Allah menceritakan apa yang telah terjadi pada Bani Nadhir, dimana mereka ditimpa azab yang pedih di dunia akibat dan kekafiran, pelanggaran perjanjian dan tipu muslihat nereka kepada Rasul dan Kaum Mukinin. Kemudian Allah memberi pernyataan: “..Maka ambilah iktibar wahai orang-orang yang berakal.” Maknanya wahai orang-orang yang berakal ambilah iktibar terhadap apa yang menimpa mereka dan sebab-sebab mengapa mereka ditimpa bencana tersebut, kemudi an berusahalah untuk tidak melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan, sehingga kamu tidak ditimpa bencana seperti mereka, kamu semua adalah manusia-manusia seperti mereka, dan apa yang terjadi pada mereka boleh juga terjadi pada kamu sekalian jika terdapat alasan/ sebab (‘illah) yang sama. Qiyâs dalam Ushul Fiqh berbeda dengan Silogisme. Dalam Usul Fiqh, Qiyâs tidak harus memiliki dua premis seperti dalam Silogisme, sebagai contoh praktikal, Rasulullah menentukan: Seorang pembunuh tidak boleh menerina warisan dari orang yang dia bunuh. Secara analogi seorang pembunuh juga tidak boleh menerima bagian wasiat dan orang yang dia bunuh. Atau contoh lain, dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Maka janganlah engkau berkata kepada mereka (kedua orang tua) sebarang perkataan kasar sekalipun perkataan “Ha” dan janganlah engkau membentak mereka, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang mulia (yang bersopan santun.” (al-Isrâ’: 23). Secara analogi seseorang benar-benar dilarang untuk memarahi apalagi memukul kedua orang tuanya.
4) Metode induksi: Induksi adalah metode berfikir untuk mendapatkan kesimpulan dan hukum tertentu dan hal atau fenomena yang umum. Metode ini adalah metode empirik yang menumpukan pada penelitian secara mendalam dan terus-menerus terhadap suatu objek untuk mendapatkan kaedah-kaedah atau hukum-hukum tertentu. Dalam al-Qur’an proses ini diawali dengan penelitian terhadap bagian-bagian dan alan raya ini: “Katakanlah (wahai Muhammad): “Perhatikan dan fikirkanlah apa yang ada di langit dan di buini…” (Yunus: 101). Kemudian al-Qur’an menyuruh manusia untuk meneliti esensi, element dan bagaimana suatu objek itu dicipta: Tidakkah mereka memperhatikan keadaan unta bagaimana ia diciptakan? Dan keadaan langit bagainana ia ditinggikan binaannya.? Dan keadaan gunung-ganang bagaimana ia ditegakkan? Dan keadaan bumi bagaimana ia dihamparkan? (al-Ghâsyiyah: 17-20). Al-Qur’an kemudian mengajarkan manusia untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam tentang hubungan dan pengaruh suatu objek terhadap objek yang lain, seperti dalam fenomena dan sebab-sebab terjadinya hujan, al-Qur’an nengatakan: “Dan Dialah (Allah) yang menghantarkan angin sebagai pembawa berita yang mengembirakan sebelum kedatangan rahmatnya (yaitu hujan), hingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halaukan dia ke negeri yang mati (ke daerah yang kering kontang), lalu Kami turunkan hujan dengan awan itu, kemudian Kami keluarkan dengan air hujan itu berbagai-bagai jenis buah-buahan.” (al-A’râf: 57). Dan proses-proses inilah kemudian manusia dapat menyingkap kaidah-kaedah, hukum-hukum dan teori-teori tertentu tentang alam.
5) Metode argumentasi dengan definisi: al-Qur’an mendefinisikan dengan jelas dan rasional tentang Allah, tentang manusia, tentang khamar dan lain-lain. Sebagai contoh al-Qur’an mendefinisikan Allah dengan mengungkapkan sitat-sifat dan kekuasaanNya: “Sesungguhnya Allah adalah Dia yang membelah (menumbuhkan) butir (tumbuh-tumbuhan) dan biji (buah-buahan). Ia mengeluarkan yang hidup dan yang mati, dan mengeluarkan yang mati dan yang hidup. Yang sedemikian itu kekuasaannya ialah Allah. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan dan menyembahNya (oleh benda-benda yang kamu jadikan sekutu-Nya)? Allah jualah Yang membelah cahaya subuh (yang menyingsingkan fajar), dan yang menjadikan malam untuk tinggal berehat, dan menjadikan matahari dan bulan untuk mengira waktu (menurut peredarannya). Yang demikian itu adalah kuasa penentuan Allah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 95-96).


6) Metode perbandingan: Al-Qur’an banyak menggunakan metode ini, dengan maksud membandingkan antara hak dan batil, baik dan buruk, cahaya dan kegelapan, antara yang celik dan yang buta, dan antara Tuhan yang patut disembah dan yang tidak.: “Adakah Allah yang menciptakan senuanya itu sama seperti makhluk-makhluk yang tidak menciptakan sesuatu?” (al-Nahl: 17), “Bertanyalah lagi: “Adakah sama, orang yang buta dengan orang yang celik? Atau adakah sama, gelap-gelita dengan terang? …” (al-Ra’d: 16). Wallahu a’lam.

penasaran???......
Category: 1 komentar