Jauhkan Rumahmu Menjadi Nerakamu

Rumah yang barakah,  mengantarkan penghuninya meraih kebahagiaan di dunia  dan keselamatan di akhirat
Oleh: Ust. Shalih Hasyim*


Hidayatullah.com--RUMAH dalam istilah bahasa Arab disebut ‘sakan’. Tempat yang menenangkan pikiran dan hati penghuninya. Tempat untuk membaringkan badan, dari kepenatan kehidupan. Tempat untuk mengurai kerumitan kehidupan yang dihadapi di luar. Tempat berlabuh secara lahir dan batin. Tempat untuk beristirahat, menyusun kekuatan baru. Bukan sebatas adress (alamat resmi) atau home (tempat tinggal atau tempat perlindungan).


Rumah merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanak-kanakan kita untuk bermain dengan lugu dan merdeka. Saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman. Saat kita merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Saat kita menjadi bocah besar, berkumis. Di telaga kedalamannya kita menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional. Tetapi, pada saat yang sama di sana kita menyiapkan pahlawan untuk memenuhi panggilan zamannya.

Seorang ideolog ormas Islam terbesar di dunia, Syaikh Said Hawa mengatakan: “Sesungguhnya zaman kita ini didominasi dan terhegemoni syahwat (kecintaan kepada hawa nafsu) dan syubhat (salah paham terhadap kebenaran), serta ghoflah (melalaikan misi kehidupan). Benteng terakhir untuk mempertahankan iman, ibadah, dan akhlak, adalah rumah dan masjid.”

Dari statemen yang bijak di atas dipahami bahwa rumah yang berkualitas memiliki sumbangan yang terbesar dalam mengantarkan penduduk dunia meraih kebahagiaan di dunia  dan keselamatan di akhirat. Sebaliknya, rumah yang bermasalah akan melahirkan prahara kehidupan. Rumah yang semula menjadi tumpuhan harapan kebahagiaan penghuninya, berubah menjadi sumber malapetaka, ketika ia dibangun dari sumber yang tidak halal. Misalnya; rumah didirikan berasal dari hasil korupsi, kolusi, dan nepoteisme (KKN).

Rumah menjadi lubang kehancuran reputasi pemiliknya, ketika rumah itu hanya menonjolkan asesoris dan atribut kemegahan, tetapi tidak ada ruang untuk membangun sandaran spiritual, tempat untuk berbagi (sharing), tempat untuk saling memberi dan menerima. Bukan tempat untuk mengambil, menuntut, pantang berkurban. Bahkan kalau perlu mengurbankan kepentingan bangsa dan negara untuk memperkaya diri dan mempertahankan status quo. Dalam keadaan demikan, rumah yang sejatinya menjadi taman surga, berubah menjadi lubang neraka. Sehingga tampak sunyi, sempit, dan senyap, bagaikan kuburan. Rumahmu laksana nerakamu.

Apalah arti bangunan yang menjulang tinggi, tata letak yang indah dan strategis, taman yang tertata rapi, halaman yang luas, panorama lampu yang terang, pohon yang rindang, jika pemiliknya berjiwa kerdil, mementingkan diri sendiri (ananiyah, egois). Sehingga pintu pikiran, hati pemiliknya, serta pintu rumahnya tidak ada ruang yang terbuka untuk bersinergi dengan tetangga dan kerabat. Jika orang-orang yang terdekat di rumah itu tidak mencintainya, mustahil bisa membangun komunikasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
َمَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاء كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut (29) : 41).

Dalam koran Suara Merdeka (edisi Minggu Kliwon, 28 Maret 2010), rubrik Parodi (lakon yang mengandung sindiran) oleh Prie GS, menjelaskan prahara rumah. Rumah yang semula tempat kembali, dikosongkan karena mengalami disfungsi. Para kuli tinta mengerumuninya bukan untuk mengaguminya, tetapi untuk dijadikan alat bukti kejahatan yang dilakukan oleh pemiliknya.

Orang-orang berbondong-bondong mendatanginya bukan untuk memberikan acungan jempol, memujinya, tetapi mencerca dan mengutuknya. Rumah yang seharusnya menjadi sumber barakah (tambahan kebaikan) bagi siapa saja yang pernah menghampirinya, berubah menjadi laknat (dijauhkan dari kebaikan). Rumah yang asri secara lahiriyah, tetapi sempit secara non-fisik. Setiap orang yang melihatnya mencibirkannya. Khalayak ramai mendatanginya bukan untuk bertamu, tetapi menggerutu.

Seluruh keindahan bangunannya, air mancur, kebun bunga, megahnya bangunan, luasnya halaman, bertingkat, bukan menjadi contoh dan gambaran rumah yang ideal. Tetapi rumah itu akhirnya menjadi rumah kutukan, rumah cibiran, rumah cercaan, rumah yang mengalami krisis makna.

Layakkah untuk Dihuni?


Apakah rumah cibiran itu layak untuk dijadikan tempat untuk bernaung dan berteduh? Sudah tentu, tidak. Kini, rumah itu kosong dari gambaran sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan), dan rahmah (kasih sayang). Padahal ketiga suasana itulah yang sangat diperlukan untuk perkembangan fisik dan psikologi anak sebagai buah membangun rumah tangga.

Rumah yang kosong dari nilai-nilai religius, menelorkan penghuni yang jiwanya retak-retak, jiwanya terbelah (split personality). Manusia yang sehat secara fisik, tetapi ruhaninya menjerit kesakitan. Manusia yang cerdas otaknya, tetapi lemah imannya. Manusia yang tidak seimbang antara ikhtiar dan doa, tidak seimbang antara kekuatan tubuh dengan kekuatan ruhiyah, tidak paralel antara fikir dan zikir. Rumah yang dihuni oleh manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang ramai.

Sebaik-baik rumah adalah dibangun dengan etos memberi. Memberi sapaan, senyuman, salam, kepada siapa saja yang melewatinya (afsyus salam). Bangunan pisik dan spiritualnya terjaga karena penghuninya senang mengantarkan makanan untuk tetangga yang telah mencium aroma masakannya (ath’imuth tho’am). Itulah sebabnya mengapa pagar mengkok sering disebut lebih kokoh dari pagar tembok. Rumah didesain secara terbuka untuk menjalin silaturrahim. Rumah yang di dalamnya dibangun untuk tempat membaca kalam ilahi. Untuk mengokohkan sandaran spiritual penghuninya.
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“(Wahai kaum wanita), ingatlah ayat-ayat Allah dan al-hikmah yang dibacakan di rumah-rumah kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).
Keluarga yang menuruti ego, ananiyah, dan keinginan sepihak, hubungan batin anak dengan kedua orangtuanya terputus, semua anggota keluarganya bersatu hanya lantaran bertempat tinggal sama, adress resmi (formalitas). Komunitas seperti itu akan membuat lobang kehancurannya sendiri. Sekalipun secara lahir masih serba mentereng, wah.

Hal ini karena faham materialisme, tidak mengakui tuntutan fithrah manusia dan harkat martabatnya.  Manusia dipersepsikan sebagai mesin (sekrup-sekrup) produksi, dan nilainya dengan standar (ukuran)  manhours --hasil kerja seseorang dihitung dalam satu jam. Tampak di sini keutuhan berkeluarga tertindas, sehingga hancur pula sendi-sendi berbangsa dan bernegara (‘imadul bilad).

Banyak di kalangan aktivis pergerakan Islam – secara tidak sadar – terkontaminasi paham ekstrim komunal RRC. Kaum bapak dimasukkan bangsal-bangsal khusus, dan anak-anak yang belum dewasa dimasukkan pula dalam bangsal-bangsal penitipan anak dan menjadi milik negara. Semua itu atas nama  meningkatkan  income, karier, dan produktivitas.

Bila kegiatan suami dan isteri bertepatan, pasangan ini bisa mengatur jadual pertemuan. Kehidupan keluarga berjalan secara sehat, normal, dan wajar. Tetapi, jika kesibukan keduanya berbeda, maka pertemuan hanya bisa dilakukan via teknologi komunikasi. Pertemuan yang kering, dan terjadilah kegersangan spiritual.

Jika penghuni rumah lebih yakin dengan kekuatan mengambil, meminta ketimbang memberi, maka memintalah terus. Bila perlu mencurilah. Kuraslah uang negara sekehendak perutmu. Bangunlah yang bukan milikmu itu untuk membangun istana pribadimu. Manfaatkanlah wewenang yang berada di genggaman tanganmu untuk mengumpulkan kekayaanmu, hatta tujuh turunan sekalipun. Tetapi, percayalah apa yang engkau bangun selama ini tidak berarti apa-apa, kecuali akan diminta kembali secara paksa, dengan cara yang tidak pernah engkau duga.

Penulis teringat ketika acara muwada’ah di pesantren dahulu. Pak Kiai mengutip sastra Arab:  “Apabila engkau membawa keranda mayat ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan digotong. Dan apabila engkau diserahi sebuah urusan kaum, ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan (dilengserkan).”

Betapa sakitnya, kita tidak bisa menikmati dan memaknai apa yang kita kumpulkan dengan susah payah.

penasaran???......
Category: 0 komentar

Belajar Berhusnudzan Terhadap Allah

Kegagalan seharusnya justru kita persepsikan sebagai modal yang harus kita bayar untuk meraih sukses

Oleh: Shalih Hasyim*
KISAH ini terjadi pada tahun 1950. Seorang pemimpin suatu fraksi di parlemen RI, semua keluarganya tinggal di Bandung. Untuk kelancaran tugas dan menempatkan pada lingkungan sosial yang kundusif bagi pendidikan anak-anaknya, ia memilih tinggal sendiri di rumah dinas Jakarta. Setiap Sabtu sore, ia pulang ke Bandung dan kembali lagi ke Jakarta pada hari Senin berikutnya.


Pada Sabtu sore –sebagaimana biasa– beliau bermaksud pulang ke Bandung dengan menumpang pesawat Dakota. Pesawat andalan anggota DPR Pusat pada era Orde Lama (Orla). Beliau telah membeli tiket pesawat, tetapi setibanya di Bandara Kemayoran, tiba-tiba ditegur oleh mahasiswi yang belum beliau kenal sebelumnya. Pemudi itu menjelaskan bahwa ia baru saja menyelesaikan ujian akhir di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta, dia ingin segera pulang ke Bandung karena pada Sabtu malam akan melaksanakan akad nikah, tetapi saat itu ia kehabisan tiket pesawat. Dengan sangat terpaksa ia memohon dengan hormat kepada anggota Legislatif –sebagai orang yang sama-sama berasal dari Bandung– agar berkenan membantunya dengan memberikan tiket beliau itu kepadanya dengan diganti uang – supaya bisa melangsungkan ijab qabul dan pesta pernikahannya sesuai rencana.

Anggota parlemen itu tertegun sejenak. Beliau sadar bahwa hari Sabtu adalah kesempatan sekali seminggu untuk menjenguk dan berbagi (sharing) dengan keluarganya di Bandung, sementara itu beliau bisa merasakan betapa kesulitan yang dihadapi oleh gadis seusia putrinya itu. Seandainya putrinya sendiri mengalami peristiwa serupa, ia juga mengharapkan pertolongan yang sama. Akhirnya, dengan terpaksa, beliau memutuskan untuk menunda kepulangannya ke Bandung dan menyerahkan tiket pesawat kepada gadis tersebut.

Betapa bahagianya si gadis tak dikenal itu. Ia sebentar lagi akan merasakan peristiwa yang paling berkesan dalam kehidupan. Bersanding dengan kekasih, si belahan hati tanpa hambatan berarti. Ia mengatakan kepada sang bapak pejabat tadi, “Terima kasih, semoga Allah Swt membalas budi baik Bapak dengan kebaikan yang banyak. Jazakumullahu Khairan katsiran,” ujarnya. Meski agak sedikit masgul dan kecewa beliau pulang kembali ke rumah dinas di Jakarta.

Beberapa saat kemudian beliau duduk termenung di ruang depan rumah dinas seorang diri. Dalam hati beliau muncul sedikit sesal karena membayangkan kecemasan yang dialami keluarganya di Bandung. Melepaskan perasaan rindu dengan semua anggota keluarganya terhambat. Di saat bayangan kekecewaan berkecamuk dalam perasaannya, beliau tersentak dengan adanya berita yang tidak sengaja didengar dari radio RRI Jakarta yang mengabarkan bahwa pesawat terbang yang akan ditumpanginya tadi mengalami kecelakaan. Semua awak dan penumpangnya tewas seketika. “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.” (Sesungguhnya kita milik Allah Swt dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali).

Entah, perasaan apa yang dirasakan dalam dadanya. Di satu sisi ia bersyukur karena batal pergi. Di sisi lain, ia sedih mengingat nasib gadis yang menggantikan tempat duduknya dalam pesawat naas tersebut. Ia baru percaya akan takdir Allah. Rupanya gadis yang bersikeras hati mengganti tiket beliau sekedar untuk menemukan suratan takdir dari Allah swt.  “Astaghfirullah,” (aku mohon ampun kepada Allah), sahutnya berulang-ulang.

Ridho dengan yang Tidak Kita Suka

Jika direnungkan secara lebih cermat, berbagai peristiwa kehidupan ini, sesungguhnya terjadi di luar rencana kita. Kehidupan ini dengan berbagai dinamika dan fluktuasinya merupakan rahasia Tuhan. Karakteristik kehidupan ini terus berputar mentaati kekuatan fitri, laksana roda pedati dan timbul-tenggelam dan muncul-hilang. Ada peristiwa yang semula kita persepsikan sebagai kesedihan, kepahitan, kegetiran, tetapi didalamnya mengandung kebijaksanaan Tuhan (hikmah).

Pepatah bahasa Arab mengatakan: “Ad Dunya mazra’tul ilm” (dunia adalah ladang ilmu pengetahuan). Romantika kehidupan sesungguhnya menyimpan berbagai pelajaran (madrastul hayah).

Ahli sastra Mesir Ahmad Syauqi Bek mengatakan: “Engkau dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis (membayangkan carut marutnya kehidupan), sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa (karena kedatangan anggota keluarga baru yang diharapkan membantu (mewarisi) tugas-tugas kehidupan..”

Seringkali kita tidak menginginkan sesuatu, namun di baliknya membawa keberuntungan. Menyakitkan memang, sesuatu yang tidak dihendaki terjadi pada diri kita. Tetapi, di antara yang mengantarkan kita ke surga adalah menerima dengan ridho keadaan yang tidak kita sukai. Karena, tiada kebahagiaan sejati melebihi dari kenikmatan di balik musibah. Uang gaji yang kita terima secara rutin dengan jumlah yang sudah kita ketahui, berbeda rasanya dengan uang yang kita peroleh secara tiba-tiba, ndilalah kersane Allah (terjadi karena kekuasaan Allah), sebagai efek dari amal saleh yang kita lakukan dengan keikhlasan.

Dalam pengalaman kehidupan sehari-hari, betapa banyak karunia Tuhan yang dianugerahkan kepada kita dengan bungkus yang tidak menyenangkan, tetapi di cela-celanya mengandung kebijaksanaan, kasih sayang Allah Swt. Blessing in Disguis (kebaikan terselubung) pepatah Bahasa Inggris, ini menunjukkan keterbatasan kita dalam memandang dan merancang masa depan. Kita lemah dalam membaca dan mengungkap misteri atau rahasia kehidupan di dunia ini. Di atas kita ada tangan-tangan ghaib yang bekerja secara canggih dengan perencanaan yang matang.

Oleh karena itu agama membimbing kita dengan salah satu ajarannya, konsep husnudz dzon (positif thingking) terhadap Tuhan pada setiap peristiwa yang terjadi. Allah Swt memiliki segala sifat kesempurnaan, kemuliaan dan jauh dari segala sifat kekurangan. Allah Swt bisa saja menghendaki sesuatu dan tidak menginginkan sesuatu, sesuai dengan keluasan ilmu-Nya.

Yakinlah bahwa Allah Swt itu bersifat rahman dan rahim. Semua surat dalam Al-Quran dimulai dengan ‘bismillahirrahmanirrahim’, sebagai indikasi sifat yang paling menonjol dalam diri-Nya adalah kasih dan sayang. Dia tidak menurunkan bencana kepada individu, suatu umat, secara kebetulan, tanpa berjalan sesuai dengan hukum sebab akibat (kausalitas) dalam sunnatullah (hukum sosial).

Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;}
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

“Tidaklah Tuhanmu menghancurkan negeri secara semena-mena sedangkan penduduknya adalah orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Hud (11) : 117).

Dengan berbaik sangka kepada Tuhan, kepahitan, bencana, penderitaan, tekanan dan tantangan kehidupan, tidak membuat kita rapuh, stagnasi, berputus asa, kehilangan pegangan. Kegagalan, ketidakmapanan, justru kita persepsikan sebagai modal yang harus kita bayar untuk meraih sukses. Pepatah bahasa arab mengatakan: “Likulli mushibati fawaaidu.” (setiap bencana mengandung banyak manfaat).

Prasangka Baik

Cobalah direnungkan sejenak. Seandainya peristiwa naas pesawat terbang – yang akan membawanya, tidak beliau ketahui lewat berita tadi – apakah beliau akan menyadari kasih sayang Tuhan yang telah menghindarkannya dari malapetaka dan musibah dengan diurungkannya keberangkatannya itu? Kemungkinan besar tidak. Mungkin beliau akan tetap menyesal karena tidak dapat memenuhi kewajiban beliau terhadap keluarga.

Tetapi, setelah mengetahui semua kejadian itu berjalan sesuai dengan rencana suratan takdir-Nya, yang melepaskannya dari kematian, barulah beliau menyadari betapa nikmat, rahmat, keadilan dan kasih sayang Tuhan, yang terkandung di balik musibah. Setelah kejadian itu, ia telah meningkat menjadi manusia yang pandai bersyukur dan selalu memohon ampun atas sikap negative thinking (su’udzan) kepada Allah Swt selama ini.

Ajaran positive thinking kepada Allah swt yang dipahami, dihayati dan diamalkan seseorang, akan memiliki kecerdasan emosional (wujdaniyyah), perasaan (syu’uriyyah), spiritual (ruhiyyah) dalam memandang naik turunnya kehidupan.

Setiap menemukan hambatan, segera ia cari hikmahnya. Ia pandai mengambil pelajaran, yang bisa menambah kekayaan jiwa, memperkuat sandaran vertikal, memperkokoh stamina ruhani, sebagai aset (bekal) untuk meneruskan berbagai usaha menuju kesuksesan yang lebih besar dan selalu melibatkan-Nya.

Ketika orang lain tidak melihat secercah harapan, bagi orang yang melihat kejadian kehidupan dengan kacamata bening selalu terngiang-ngiang di dalam telinga batinnya akan janji Allah Swt. “Ingatlah, pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al Baqarah (2) : 214). “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah : 6).

Ayat Allah di atas menjelaskan kesulitan dengan isim ma’rifat (definitif) “al ‘usr”, sedangkan kemudahan memakai isim nakirah (infinitif) “yusr”, ini menunjukkan sesungguhnya setelah kesulitan yang sedikit itu akan ditemukan berbagai kemudahan.

Pesan penting berbaik sangka kepada Allah Swt sejatinya membangkitkan kelemahan jiwa, menyalakan spirit batin, menggerakkan potensi lahir dan batin kemudian dikerahkannya menuju kebangkitan kejiwaan. Dengan berbagai musibah yang melilit bangsa kita (udara, laut dan daratan), selayaknya menyadarkan kita untuk selalu intropeksi diri, dan meyakinkan diri kita sesungguhnya badai itu akan berlalu. Bencana adalah tangga yang mesti dilewati untuk mensucikan (tazkiyah), mendidik (tarbiyah), memandu (ta’lim), dan mendongkrak (tarqiyah) kualitas sikap mental dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus

penasaran???......
Category: 0 komentar

pencerahan

Semua Meninggalkanku Setelah Aku Berhijab


“Ya Allah, akhirnya dengan hijab ini aku dapat merasakan lezatnya nikmat iman.”

Hidayatullah.com-- “Tombo ati iku limo perkarane kaping pisan moco Qur'an lan maknane kaping pindo sholat wengi lakonono kaping telu wong kang sholeh,” begitu  lagu Tombo Ati nya Kiai Kanjeng yang juga ikut dirilis Opick.



Diakui atau tidak, baik atau buruknya perilaku seseorang itu, juga tergantung dengan siapa ia bergaul. Ketika sahabatnya adalah orang-orang yang memiliki akhlakul karimah (akhlak yang mulia), maka, secara tidak langsung ia telah ikut merasakan langkah sahabat-sahabatnya yang mulia. Begitu pula sebaliknya, ketika yang mejadi teman gaul itu adalah sekelompok orang yang jauh dari cahaya Allah, kita pun akan mengikuti mereka sedikit demi sedikit. Sebab itu, kita perlu mewas diri dengan siapa kita bersahabat, sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Mungkin, karena kecerobohan saya dalam memilih teman itulah, yang telah menjerumuskanku ke jalan yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam.

Dua puluh tahun lalu, tahun 90-an,  mengamen di kampus-kampus, terminal-terminal, telah menjadi pilihan gaya hidupku.  Padahal, di lain pihak, orangtuaku termasuk orang yang berada (berkecukupan), untuk membiayai kuliah, kos dan sanguku. Bahkan, beliau termasuk pengurus salah satu organisasi Masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yang mana, jam terbang dakwahnya cukup tinggi. Namun, sekali lagi, karena salah pergaulan, justru jalan setan inilah yang menjadi pijakanku, sebelum akhirnya hidayah merasuk ke dalam sanubari.

Pengalaman buruk itu bermula dari aku menjadi mahasiswi di sebuah universitas di Malang. Aku sendiri lahir dari Sidoarjo. Karena jauhnya lokasi rumah dan kampus, maka saya lebih memilih untuk mengekos di lokasi yang tidak jauh dari kampus.

Terus terang, sejatinya aku menjalani proses perkuliahan itu dengan setengah hati. Tidak ada keseriusan di dalamnya. Oleh karenanya, untuk mencari hiburan, aku mendaftarkan diri untuk masuk group theater. Di sini, meskipun tidak sering, kami kadang-kadang diundang untuk mengisi beberapa acara.

Seiring dengan terus berjalannya waktu, tumbuh keinginan untuk mengikuti profesi beberapa temanku, yaitu mengamen. Bedanya, kalau mereka mengamen untuk memenuhi biaya hidup, sedangkan aku, menjalaninya hanya untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri semata. Gayung bersambut, ternyata teman-temanku itu sangat responsif terhadap keinginanku tersebut. Sejak itulah, karir sebagai penyanyi jalanan di mulai.

Kampus-kampus terbesar di Malang seperti; IAIN (yang kini berubah menjadi UIN), IKIP, UNIBRAW, adalah diantara target kami. Namun, tidak jarang juga kami melebarkan sayap jangkauan kami, ke daerah Batu, karena memang di sini tempat para wisatawan luar negeri, yang mana jika mereka memberi, relatif lebih besar dari pada orang-orang pribumi.

Dari hari ke hari, aku benar-benar dimabuk cinta oleh aktivitas baruku ini. bisa dibilang saat itu aku sudah ‘gila’, ‘gila’ ngamen. Bayangkan, meskipun statusku sebagai mahasiswi, namun, intensitas dalam mengamen, dan jauhnya jangkauan yang harus ditempuh, bisa dibilang, mengalah-ngalahi, mereka yang memang berprofesi sebagai pengamen sejati, sekalipun mereka itu cowok. Aku dan beberapa teman tidak lagi mengamen di kampus-kampus, namun juga sudah menuju terminal-terminal.

Disergap Satpol PP

Pernah pada suatu hari, ketika sedang asik melantunkan sebuah lagu di terminal Arjosari, Malang, kami disergap oleh Satpol PP  Karena kelihaian kami bersilat lidah, akhirnya, kami dilepaskan, “Pak, kita ini para mahasiswi yang sedang praktek lapangn, yang meneliti tentang kehidupan para pengamen,” jelas kami waktu itu yang langsung dipercayai. Tapi pengalaman itu rupanya tak pernah menyurutkan ku menghentikan kebiasaan gila ini.

Tak puas hanya berkutat di daerah Malang saja, akhirnya kami beranikan diri untuk memperluas daerah jangkauan. Tidak tanggung-tanggung, daerah yang kami tuju adalah Lumajang, bahkan, karena saking kuatnya tekat untuk mengamen, kami berani mengamen hingga ke Madura, Banyuwangi, bahkan Bali sekali pun. (Astaghfirullaha ‘Adziim, semoga Allah mengampuni masa laluku).

Aktivitas yang demikian ini, terus aku jalani hingga aku duduk di semester enam. Meskipun demikian liarnya pergaulanku saat itu, orang tuaku tidak pernah mengetahuinya. Dan Alhamdulillah-nya, meskipun tidak terlalu baik, setiap kali ujian semester, aku selalu lulus. –mungkin- hal inilah, yang membuat orang tuaku tidak curiga dengan aktivitas saya. Tapi memang di balik itu semua, terlihat keinginan mereka agar aku bisa memperbaiki kostum pakaianku. Memang pada saat itu, baju yang ketat dengan bawahan seperti jeans, menjadi pakaian favoritku. Ditambah lagi dengan rambut yang terurai bebas.

Datangnya Hidayah


Senikmat apapun hidup di tengah kegelapan cahaya Allah, tetaplah itu semua kenikmatan semu, yang tidak akan pernah mencapai kenikmatan hakiki yang mengarah kepada ketenangan jiwa, dan kesejukan hati. Semakin hawa nafsu itu dituruti, sejatinya jiwa ini semakin haus, rindu akan siraman ketenangan. Namun, karena hawa nafsu begitu dominan, yang terjadi hanyalah pengingkaran, pengingkaran jeritan hati. Sehingga, meskipun ia terluka, mulut masih bisah tetap tertawa dengan sumringahnya.

Begitu pula dengan diriku. Sejatinya hatiku menjerit, mengakui kekeliruan jalur yang aku pilih. Hingga terjadilah suatu pristiwa, yang cukup menggugah diriku, yang kemudian menjadi titik awal kembalinya saya ke fithrah Ilahiyah.

Hari itu (akhir dari tahun 1993), tersebutlah salah satu teman kosku yang baru saja menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL). Pada dasarnya, ia juga termasuk tipe orang yang kurang memperhatikan hijab, termasuk aurat (jilbab). Tapi, karena tempat PKL-nya di sekolah Muhammadiyah, maka ia pun “terpaksa” menggunakan hijab tersebut. Di tengah-tengah ia merapihkan pakaiannya, saya tertegun melihat jilbab yang sedang ia lipat. Seketika itu saya memberanikan diri untuk memintanya, “Mbak, jilbabnya saya ambil aja yah,” ujarku kala itu. “Untuk apa?” timbalnya “Ya, mungkin suatu hari nanti aku akan memakainya. Sekalian buat kenang-kenangan. Mbak kan sudah mau selesai kuliahnya,” ujarku. Akhirnya jilbab itu ia berikan juga.

Setelah ia menyerahkan jilbab itu, saya langsung menjoba mengenakannya. “Wah mbak  cantik juga kalau pakek jilbab,” ujar beberapa teman mengomentari ulahku. Ada rasa nyesss, tatkala aku bercermin dan melihat penampilanku berjilbab saat itu. Sepertinya setes embun telah membasahi hatiku. Rasanya sejuk sekali. Maka mulailah aku berfikir untuk menggunakan jilbab.

Meski demikian, masih terngiang dengan jelas di benakku, bagimana reaksi kedua orangtuaku nanti? Diam-diam aku pulang dengan penampilan baru, berjilbab. Tapi tetap saja, itu hanya bagian atas. Sebab, pakaian bawah,  masih standar jahiliyah, menggunakan jeans.

“Nah, beginilah nak seharusnya seorang muslimah berbusana,” puji orangtuaku dalam raut wajah cukup kaget dan linangan air mata. Mungkin karena suka nya, mereka mengajakku memborong pakaiaan muslimah. Alhamdulillah, sejak saat itu, tekad ku menggunakan jilbab semakin kuat.

Terror dari Segala Penjuru

Namun, perjalanan ini rupanya tak semulus yang aku kira. Yang ada justru jalan terjal, lagi berbatuan. Akan tetapi, justru jalan yang demikian inilah, yang kemudian hari akan menghantarkan seseorang merasakan manisnya perjuangan, indahnya keimanan.

Setibanya di kampus  aku diselimuti keraguan untuk menggunakan jilbab. Penyebabnya, tentusaja mempertimbangkan reaksi teman-temanku, yang sepertinya mereka fobia  terhadap jilbab. Maka, untuk menghindari itu semua, aku pun  ‘kucing-kucingan’ bersama mereka.

Kalau kuliah malam hari, saya mengenakan jilbab, kalau siang, akupun melucutinya alias bongkar-pasang. Pekerjaan ini berjalan hingga lima bulan. Tapi, lama-kelamaan, aku sendiri tidak kuat dengan permainan ini. Sebab itu, aku beranikan diri untuk berkata jujur kepada mereka, bahwa aku ada aku yang sudah dengan penampilan baru.

Apa yang saya kuatirkan sebelumnya benar-benar terjadi. Teman-temanku mencemooh dan mengkerdilkanku, “Apa kamu ingin menjadi pocong dengan  pakai jilbab!”. “Kalau kamu pakai jilbab, kamu tidak akan bebas.Kamu akan selalu terkekang,”  ujar yang lain. Semua itu, sangat mengiris-iris hatiku.

Tidak cukup dengan omongan saja mereka berperilaku buruk (yang sebelumnya sangat-sangat akrab), mereka juga dengan serempak menjauhiku. Seorang memboikot penampilanku, mereka hilang satu-persatu. Jadilah aku “sebatang kara”. Melihat kondisi kampus yang tidak kondusif ini, saya bermusyawarah dengan orangtua mengenai permasalahanku. Akhirnya diputuskan,  pulang-pergi sebagai alternatifnya, sekalipun itu sangat jauh Malang-Sidoarjo.

Ternyata harapan untuk menggunakan hijab dengan mudah di rumah sendiri, tidak semudah membalik telapak tangan. Di sini pun aku dikucilkan oleh beberapa saudara.

“Perilaku masih kayak gitu kok pakai jilbab.”

“Nanti saja makai jilbabnya. Kamu itu masih belum menikah. Entar gak laku melihat penampilanmu yang aneh ini,” ujar sebagian dari mereka.

Akan tetapi, sebesar apapun angin dan badai hinaan menghantam, aku telah bulatkan niat untuk tetap menggunakan jilbab. Agar pengetahuan agamaku semakin bertambah, maka, akupun melahap buku-buku agama, yang aku beli di toko-toko buku.

Karena membaca pengalaman betapa sukarnya berjalan di jalur yang diridhai Allah, setiap kali melaksanakan shalat, aku senantiasa berdo’a kepada-Nya.

“Ya Allah, sudilah kiranya Engka memberikanku pendamping hidup yang mendukung apa yang aku yakini sebagai kebenaran ini,” begitu doaku.

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do’a-do’a hambanya. Melalui perantara kedua orangtuaku, aku akhirnya dijodohkan dengan seorang aktivis dakwah yang sebelumnya tak pernah aku kenal.

Aku sangat bersyukur berdampingan dengannya. Selain ia sebagai figur suami yang baik, ia juga merupakan  sosok pembimbing yang senantiasa mengarahkan ke pada jalan yang benar, yang diridhai oleh Allah. Yang sangat membahagiakanku, ia adalah seorang yang sangat mengerti agama dan seorang dai.

Saat ini, kami telah dianugerahi dua putra dan dua putri. Selain sibuk mengurusi rumah tangga dan mendidik anak-anak, aku juga aktif di  organisasi muslimah yang berada di bawah naungan salah satu harakah Islam.

“Ya Allah, kini akhirnya aku dapat merasakan lezatnya nikmat iman ini.”

“Wahai para Muslimah, gunakanlah hijab sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh agama (Islam) yang indah dan mulia ini. Dengan hijab itu identitas kalian akan lebih jelas. Tanpanya, bukan hanya keimanan kita saja yang kurang nampak, namun, keislaman kitapun patut dipertanyakan.” [kisah ini diceritakan langsung oleh Ibu Fina kepada hidayatullah.com/Robin Sah/www.hidayatullah.com

penasaran???......
Category: 0 komentar