BENARKAH KEBEBASAN   BERPIKIR ITU BOLEH?BERFIKIR BEBAS DAN ILMIAH DALAM AL-QURAN

Pondok modern Gontor, almamater kita menjadikan kebebasan berfikir sebagai salah satu prinsip dasar. Prinsip ini penting dalam kehidupan manusia. Manusia seringkali didifinisikan sebagai “binatang berfikir” (al-insânu hayawânun nâtiq) Dalam definisi ini “berfikir” yang berarti juga “berfikir yang bebas” adalah sifat utama manusia dan faktor pembeda antara manusia dengan binatang-binatang yang lain. Dulu dalam peristiwa penciptaan Adam as juga ada isarat yang menunjukkan bahwa Adam mampu menjadi khalifah yang lebih tinggi derajatnya daripada para malaikat adalah karena kemampuannya bertikir dan menamakan al-asma’ (nama-nama benda).

Tulisan ini berusaha melihat beberapa aspek berfikir dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menyerukan pentingnya berfikir yang bebas. Kebebasan berfikir yang diserukan al-Qur’an kepada manusia menyangkut segala proses akliah, kognitif, terhadap semua kehidupan dan kejadian alam wujud ini termasuk diri manusia sendiri. Pada saat yang sama proses berfikir yang bebas ini, menurut al-Qur’an juga harus ilmiah, kritis dan methodologis.
PROSES BERFIKIR YANG BEBAS DAN BERKESINAMBUNGAN
Dalam al-Qur’an proses berfikir adalah proses yang bebas, menyangkut segala kegiatan kognitif terhadap semua alam wujud dan kehidupan. Aktifitas berfikir sebagai karakter utama manusia mendapat perhatian yang istimewa dalam al-Qur’an. Akal yang merupakan alat untuk berfikir disebutkan al-Qur’an sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan tidak satupun kata akal (‘aql) digunakan dalam bentuk kata benda (isim) . Hal ini mengisyaratkan bahwa akal adalah sebuah proses berfikir yang berketerusan dan tidak boleh berhenti dan bahwa akal tidak memiliki makna kalau tidak digunakan. Alat untuk berfikir di dalam al-Qur’an juga disebut al-qalb, al-fu’ad, al-nuhâ, al-hijr, al-hilm dan al-lubb yang semuanya juga berarti akal fikiran. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang menyerukan pentingnya proses berfikir yang bebas bagi setiap manusia. Ayat-ayat ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Ayat-ayat yang menyerukan berfikir dan penggunaan akal sebagai kekuatan alami yang dimiliki manusia. Di antaranya adalah: “Dan ia memudahkan bagi kamu malam dan siang, dan matahari serta bulan; dan bintang-bintang dimudahkan dengan perintah-Nya untuk keperluan-keperluan kamu. Sesungguhnya yang demiikian itu mengandung tanda-tanda (yang membuktikan kebijaksanaan Allah) bagi kaum yang mau menggunakan akal.” (al-Nahl:12) . Ayat-ayat seperti ini juga dapat di lihat di Surat al-Baqarah: 164, al-Ra’d: 4, al-Nahl: 64 dan al-Rum: 24. Semua ayat-ayat tersebut di atas diakhiri dengan pernayataan “bagi kaum yang mahu menggunakan akal” (li qaumin ya’qilun) sebagai penekanan terhadap sesuatu yang secara alami merupakan suatu kemestian untuk difikirkan dan difahaini, yaitu suatu kemestian untuk memikirkan dan memaharni semua fenomena kejadian dan alam raya ini dengan bebas.
2. Ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan khusus kepada para Uli al-bab, intellektual, dan mereka yang memiliki kemampuan berfikir secara sempurna. Orang-orang ini disebut dalam al-Qur ‘an sebanyak 16 kali, yang semuanya berirama pujian dan penghormatan, hal ini karena mereka menurut al-Qur’an adalah orang orang yang memiliki tingkatan yang tinggi di dalam berfikir. Diantara ayat-ayat ini adalah firman Allah yang maksudnya: “Maka adakah orang yang mengetahul bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu itu (wahai Muhammad) perkara yang benar, sama dengan orang yang buta matahatinya? Sesungguhnya orang-orang yang mahu memikirkan hal itu hanyalah orang-orang yang berakal sempurna (uli al-bab).” (al-Ra’d: 19).
3. Ayat-ayat yang mencela dan menghardik orang orang yang tidak mau berfikir. Untuk mencela orang-orang yang tidak berfikir dan tidak menggunakan akal al-Qur’an banyak menggunakan tanda tanya yang bersifat negatif seperti: Apakah kamu tidak menggunakan akal fikiran (afala ta’qilun)? Apakah kamu tidak berfikir (afala tatafakkarun?) Apakah kamu tidak melihat (afala tubsirun)? Apakah kamu tidak ingat (afala tadzakkarun)? Apakah mereka tidak mendalaini (afala tadabbarun)? Ayat-ayat yang berkaitan dengan tanda tanya ini, banyak menyuruh manusia untuk membedakan antara baik dan buruk, jahat dan mulia dan untuk menimbang dan meinilih antara kelezatan kehidupan dunia dan akhirat kelak. Seperti firman Allah yang maksudnya: “Jijik perasaanku terhadap kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Maka mengapa kamu tidak mau menggunakan akal fikiran kamu?” (al-Anbiya’: 67). Dalarn banyak ayat Allah mensifatkan orang-orang yang tidak berfikir sama dengan binatang dan bahkan lebih hina daripada binatang, hal ini karena binatang memang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berfikir, sedangkan manusia sudah diberi alat untuk berfikir namun mereka tidak menggunakannya dengan sempurna. Kasus ini dapat dilihat dalam firman Allah: “Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang melata, pada sisi (hukum dan ketetapan) Allah, ialah orang-orang yang pekak lagi bisu, yang tidak mahu memahaini sesuatupun (dengan akal fikirannya).” (al-Anfâl: 22), dapat juga dilihat dalam Surat al-Furqan: 44.
4. Ayat-ayat yang berkaitan dengan kewajiban manusia untuk melihat, meneliti, mengingat, memahami yang semuanya merupakan proses berfikir yang bebas yang tidak terikat, terhadap semua fenomena wujud dan kehidupan, yang dibahasakan oleh al-Quran dalam berbagai istilah seperti berikut:
a) Kata-kata yang berasal dan fa-ka-ra yang berarti berfikir terdapat dalam 16 ayat. Semua ayat-ayat ini menyerukan manusia untuk berfikir tentang semua fenomena wujud, baik alam raya maupun diri manusia sendiri, deinikian juga tentang dalil-dalil tauhid dan kebenaran risalah Nabi Muhammad. Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah yang maksudnya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dan pada Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir ” (al-Jathiyah: 13). Kata ‘berfikir’ dalam ayat ini merupakan hal yang sangat penting, dimana kalau Allah telah menghamparkan dan menundukkan untuk manusia alam raya ini maka pada saat yang sama manusia tidak boleh bersikap acuh dan pasif tapi harus mengambil posisi aktif dan dinamis. Kedinamisan ini diwujudkan dalarn bentuk mentelaah, eksperimen dan kemampuan memanfaatkan alam bagi kebaikan kehidupan umat manusia. Pengendalian dan pemanfaatan segala apa yang terhampar di alam raya ini harus dengan studi dan penelitian. Pandangan yang sedemikian ini terhadap objek; alan raya, langit dan bumi akan dapat meningkatkan kehidupan material, dan dalam waktu yang sama dapat meningkatkan kehidupan spiritual, seperti apa yang ditegaskan oleh al-Qur’an: “Kami akan memperhatikan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahawa al-Qur’an itu adalah benar.” (al-Fusilat: 53).
b) Kata-kata yang berasal dan na-dla-ra yang maknanya melihat terdapat dalam 129 ayat, ada yang bermakna melihat dengan mata secara biasa, tapi secara umum memberi makna melihat dengan akal fikiran, seperti: “(Setelah mengetahui yang demikian), maka hendaklah manusia melihat (memikirkan): dan apa ja diciptakan.” (al-Tariq: 5). Ayat yang sama dapat di jumpai di Surat ‘Abasa: 24, al-A’raf: 185.
c) Kata-kata yang berasal dan ba-sha-ra yang secara bahasa bermakna melihat dengan mata di dalam al-Qur’an bermaksud meneliti dan menggunakan akal secara rasional terhadap semua fenomena kehidupan yang tampak secara empirik di depan mata. Dalam Surat al-A’raf: 179, Allah berfirman yang maksudnya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam banyak dari jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mau memahami dengannya (ayat-ayat Allah), dan yang mempunyai mata (tetapi) tidak mau melihat dengannya (bukti keesaan Allah) dan yang mempunyai telinga (tetapi) tidak mau mendengar dengannya (ajaran dan nasihat); mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.” Yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang yang tidak menggunakan indera mereka sebagai proses memahami dengan baik dan betul-betul semua fenomena alan raya ini sebagai tanda kebesaran Allah. Ayat-ayat yang semacam ini dapat juga di jumpai di al-Dzariyat:21, al-Sajdah: 28.
d). Kata-kata yang berasal dan dab-ba-ra yang secara bahasa bermakna memahami, terdapat dalam 4 ayat yang semuanya berkaitan dengan pemahaman terhadap al-Quran, yang memberi perintah terhadap kita untuk memahami dengan teliti dan meinikirkan rahasia-rahasia dan keajaiban kandungan wahyu Ilahi, seperti: “(Al-Quran ini) sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (dan umatmu wahai Muhammad), -Kitab yang banyak faedah-faedah dan manfaatnya, untuk mereka memahami dengan teliti kandungan ayat-ayatnya, dan untuk orang-orang yang berakal sempurna beringat mengambil iktibar.” (Shad: 29). Ayat yang lainnya terdapat dalam Surat al-Nisâ’: 82, al-Mu’minun: 68 dan Surat Muhammad: 24.
e) Kata-kata fa-qi-ha di dalam al-Qur’an bermakna mendalami, seperti mendalami ilmu Syari’at, dan fa-qi-ha termasuk proses berfikir yang tinggi. Akar kata fa-qi-ha terdapat dalam 20 ayat, dan diantaranya adalah: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam banyak dan jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mau memahami (secara mendalam) dengannya (ayat-ayat Allah)…” (al-A’raf : 179).
f) Ayat-ayat yang menyerukan manusia untuk mengambil iktibar dan pelajaran baik dan peristiwa sejarah dan pengalaman kehidupan manusia maupun dan peristiwa alam, seperti firman Allah yang maksudnya: “Sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandungi pelajaran yang mendatangkan iktibar bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran.” (Yûsuf: 111). Ayat-ayat yang lain terdapat dalam Surah al-Hashr: 2, Ali ‘Imrân: 13, dan Nûr: 43-44.
g) Ayat-ayat yang menyerukan manusia untuk mengingat (tadzakkur). Dalam psykologi, mengingat adalah juga merupakan proses kognitif yang penting, dan karena itulah al-Qur’an banyak mengkaitkan proses ini dengan para ulil albab (intellektual), seperti firman Allah yang maksudnya: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang mengingati (pelajaran dan peringatan) hanyalah orang-orang yang berakal sempurna.” (al-Zumar: 9)
BERFIKIR HARUS ILMIAH, KRITIS DAN METHODOLOGIS
Selain memberikan kebebasan akal untuk melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan kenampuan dan kekuatan yang dimiliki. Al-Qur’an memberikan banyak bukti-bukti perlunya berfikir iliniah, kritis dan metodologis. Diantara bukti-bukti itu adalah sebagai berikut:
a) Al-Quran dengan teliti dan dengan penuh tanggungjawab memaparkan pendapat-pendapat lawan, kemudian menjawabnya dengan logika yang benar dan hukum fitrah yang lurus. Al-Qur’an mencatat pandangan orang-crang Quraish, orang-orang Kafir dan orang orang Musyrik, kemudian menjawab pandangan-pandangan mereka dengan jawaban yang tepat dan memuaskan, yang didasari oleh alasan-alasan yang kuat dan rasional. Orang-orang Kafir umpananya ketika mengingkari adanya han kebangkitan dan mengatakan: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Al-Qur’an memberi komen dan jawaban dalam ayat selanjutnya: “Dan mereka sekali kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (al-Jasyiyah: 24). Disini Qur’an membedakan antara ‘ilmu’ dan ‘spekulasi’ (dhan), mengajak penglihatan kita pada pentingnya penelitian dan pengkajian secara mendalam tentang hukum-hukum dan keputusan-keputusan dan sumbernya, yang merupakan pendidikan untuk melakukan kritik yang objektif. Al-Qur’an memperingatkan dan melarang manusia mengeluarkan idea-idea dan keputusan-keputusan yang ia sendiri tidak mengerti, sehingga tidak mengakibatkan kesalahan dan kontradiksi dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang karnu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isrâ’: 36). Ketika orang-orang Kafir beranggapan bahwa para Malaikat itu adalah orang-orang perempuan. Al-Qur’an menjawab spekulasi mereka itu dengan mengatakan: “Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan ditulis persaksian mereka dan mereka akan diininta memberi pertanggung jawaban.” (al-Zuhruf: 19). Al-Qur’an dalam ayat ini ingin mengatakan kepada mereka, bahawa pendapat yang kamu pegang itu kalau benar maka harus berdasarkan atas penelitian, yang merupakan salah satu sarana ilmu pengetahuan yang benar.
b) Al-Qur’an menceritakan kepada kita tentang Nabi Ibrahim as dan kaumnya, perdebatan yang terjadi antara kedua belah pihak, dan argumentasi-argumentasi rasional yang tersusun dalam metode logika yang bagus dan tepat, dan dapat menjuruskan akal kepada konklusi-konklusi yang benar dan meyakinkan, seperti apa yang dinyatakan oleh ayat di akhir cerita: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan di bumi dan (Kami perlihatkan) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75).
c) Al-Qur’an memberikan contoh-contoh metode berfikir iliniah dan methodologis. Di antara metode bertikir iliniah dan metodhologis yang diperkenalkan~oleh al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1) Metode sejarah: Terhadap sejarah, sebagai salah satu sumber pengetahuan manusia, al-Qur’an telah memperhatikan secara serius dengan membincangkan kembali keadaan dan pengalaman umat manusia di masa lalu, dan menyuruh setiap manusia untuk melihat dan menemukan hukun-hukum (sunnatullah) yang terdapat di dalam setiap peristiwa dan perubahan sejarah nanusia: “Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu (contoh kejadian-kejadian berdasarkan) hukum-hukum Allah yang tetap; oleh itu mengembaralah kamu di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul).” (Ali Imran: 137). Demikian juga Al-Qur’an telah memperhatikan pentingnya memastikan secara kritis dan objektif terhadap kebenaran setiap berita dan data-data sejarah: “Hai orang-orang yang berman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.” (al-Hujurat: 6). Dan sini Al-Qur’an telah meletakkan dasar yang paling utama dalam kritik sejarah, dimana ia telah meletakkan etika penyampaian berita sebagai faktor yang paling dominan untuk menilai kandungan sebuah berita. Orang-orang Islam telah menerapkan prinsip ini dalam periwayatan hadith Nabi. Prinsip kritik yang telah diterapkan oleh para perawi hadith inilah yang kemudian menjadi prinsip dasar dalam netode penelitian sejarah.
2) Metode silogisme: Metode ini termasuk cabang ilnu mantik (logika Aristotles), yaitu metode berfikir untuk nendapatkan keputusan atau hasil dan dua premis atau mukadimah. Metode ini diisaratkan oleh al-Qur’an dalam kisah Iblis ketika menolak untuk bersujud kepada Adam: Allah berfirman:”Hai lblis! Apa yang menghalangimu daripada turut sujud kepada (Adam) yang Aku telah ciptakan dengan kekuasaan-Ku? Adakah engkau berlaku sombong takbur, ataupun engkau dan golongan yang tertinggi? Iblis menjawab: “Aku lebih baik daripadanya; Engkau (wahai Tuhanku) ciptakan daku dan api, sedang dia Engkau ciptakan dan tanah.” (Shad: 75-76). Dalam peristiwa ini Iblis membuat silogisme sebagai berikut: Saya (Iblis) diciptakan daripada api, Adam diciptakan daripada tanah (premis I). Api lebih baik daripada tanah (premis II), maka saya (Iblis) lebih baik daripada Adam (keputusan) . Karena silogisme ini Iblis menolak untuk bersujud pada Adam. Dalam silogisme, untuk nendapatkan keputusan yang benar preinis pertama dan kedua harus betul dan iliniah. Struktur silogisme yang digunakan Iblis ini memang betul tetapi tidak ilmiah, karena premis yang dia bangun bersifat subjektif dan masih dapat dipertikaikan. Bagi Iblis api lebih baik dan tanah, tapi bagi manusia tanah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada api, dan dengan denikian dalam perspektif manusia Adam lebih baik daripada Iblis.
3) Metode qiyâs (analogical deduction): Metode ini digunakan dalan Usul Fiqh. Ayat al-Qur’an yang mengisayaratkan metode ini adalah: “…Maka Allah menimpakan (azab-Nya) kepada mereka dan arah yang tidak terlintas dalam fikiran mereka, serta dilemparkanNya perasaan cemas takut ke dalam hati mereka, (lalu) mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri (dan dalam) sambil tangan orang-orang yang berman (yang mengepung mereka berbuat deinikian dan luar). Maka ambilah iktibar wahai orang-orang yang berakal fikiran.” (al-Hashr: 2). Dalam ayat ini Allah menceritakan apa yang telah terjadi pada Bani Nadhir, dimana mereka ditimpa azab yang pedih di dunia akibat dan kekafiran, pelanggaran perjanjian dan tipu muslihat nereka kepada Rasul dan Kaum Mukinin. Kemudian Allah memberi pernyataan: “..Maka ambilah iktibar wahai orang-orang yang berakal.” Maknanya wahai orang-orang yang berakal ambilah iktibar terhadap apa yang menimpa mereka dan sebab-sebab mengapa mereka ditimpa bencana tersebut, kemudi an berusahalah untuk tidak melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan, sehingga kamu tidak ditimpa bencana seperti mereka, kamu semua adalah manusia-manusia seperti mereka, dan apa yang terjadi pada mereka boleh juga terjadi pada kamu sekalian jika terdapat alasan/ sebab (‘illah) yang sama. Qiyâs dalam Ushul Fiqh berbeda dengan Silogisme. Dalam Usul Fiqh, Qiyâs tidak harus memiliki dua premis seperti dalam Silogisme, sebagai contoh praktikal, Rasulullah menentukan: Seorang pembunuh tidak boleh menerina warisan dari orang yang dia bunuh. Secara analogi seorang pembunuh juga tidak boleh menerima bagian wasiat dan orang yang dia bunuh. Atau contoh lain, dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Maka janganlah engkau berkata kepada mereka (kedua orang tua) sebarang perkataan kasar sekalipun perkataan “Ha” dan janganlah engkau membentak mereka, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang mulia (yang bersopan santun.” (al-Isrâ’: 23). Secara analogi seseorang benar-benar dilarang untuk memarahi apalagi memukul kedua orang tuanya.
4) Metode induksi: Induksi adalah metode berfikir untuk mendapatkan kesimpulan dan hukum tertentu dan hal atau fenomena yang umum. Metode ini adalah metode empirik yang menumpukan pada penelitian secara mendalam dan terus-menerus terhadap suatu objek untuk mendapatkan kaedah-kaedah atau hukum-hukum tertentu. Dalam al-Qur’an proses ini diawali dengan penelitian terhadap bagian-bagian dan alan raya ini: “Katakanlah (wahai Muhammad): “Perhatikan dan fikirkanlah apa yang ada di langit dan di buini…” (Yunus: 101). Kemudian al-Qur’an menyuruh manusia untuk meneliti esensi, element dan bagaimana suatu objek itu dicipta: Tidakkah mereka memperhatikan keadaan unta bagaimana ia diciptakan? Dan keadaan langit bagainana ia ditinggikan binaannya.? Dan keadaan gunung-ganang bagaimana ia ditegakkan? Dan keadaan bumi bagaimana ia dihamparkan? (al-Ghâsyiyah: 17-20). Al-Qur’an kemudian mengajarkan manusia untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam tentang hubungan dan pengaruh suatu objek terhadap objek yang lain, seperti dalam fenomena dan sebab-sebab terjadinya hujan, al-Qur’an nengatakan: “Dan Dialah (Allah) yang menghantarkan angin sebagai pembawa berita yang mengembirakan sebelum kedatangan rahmatnya (yaitu hujan), hingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halaukan dia ke negeri yang mati (ke daerah yang kering kontang), lalu Kami turunkan hujan dengan awan itu, kemudian Kami keluarkan dengan air hujan itu berbagai-bagai jenis buah-buahan.” (al-A’râf: 57). Dan proses-proses inilah kemudian manusia dapat menyingkap kaidah-kaedah, hukum-hukum dan teori-teori tertentu tentang alam.
5) Metode argumentasi dengan definisi: al-Qur’an mendefinisikan dengan jelas dan rasional tentang Allah, tentang manusia, tentang khamar dan lain-lain. Sebagai contoh al-Qur’an mendefinisikan Allah dengan mengungkapkan sitat-sifat dan kekuasaanNya: “Sesungguhnya Allah adalah Dia yang membelah (menumbuhkan) butir (tumbuh-tumbuhan) dan biji (buah-buahan). Ia mengeluarkan yang hidup dan yang mati, dan mengeluarkan yang mati dan yang hidup. Yang sedemikian itu kekuasaannya ialah Allah. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan dan menyembahNya (oleh benda-benda yang kamu jadikan sekutu-Nya)? Allah jualah Yang membelah cahaya subuh (yang menyingsingkan fajar), dan yang menjadikan malam untuk tinggal berehat, dan menjadikan matahari dan bulan untuk mengira waktu (menurut peredarannya). Yang demikian itu adalah kuasa penentuan Allah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 95-96).


6) Metode perbandingan: Al-Qur’an banyak menggunakan metode ini, dengan maksud membandingkan antara hak dan batil, baik dan buruk, cahaya dan kegelapan, antara yang celik dan yang buta, dan antara Tuhan yang patut disembah dan yang tidak.: “Adakah Allah yang menciptakan senuanya itu sama seperti makhluk-makhluk yang tidak menciptakan sesuatu?” (al-Nahl: 17), “Bertanyalah lagi: “Adakah sama, orang yang buta dengan orang yang celik? Atau adakah sama, gelap-gelita dengan terang? …” (al-Ra’d: 16). Wallahu a’lam.

Category: 1 komentar